
REBANA banyak tersebar di mana-mana, kesenian ini menjadi bagian dari dinamika masyarakat muslim. Demak, Jawa Tengah sebagai kota santri yang mewarisi perjuangan para wali memiliki khasanah kebudayaan yang lengkap, termasuk rabana.
Untuk memilihara seni budaya Rebana dari Demak, hari ini disajikan perjuangan rakyat kecil di pedesaan. Ceritera ini termasuk unik karena diantar oleh perjuangan keluarga sederhana di pedesaan mirip ceritera roman dalam buku sastra kuno. Perjuangan mereka tidak saja mengantar penggunaan rebana tetap marak, tetapi mengantar pula keduanya menjadi keluarga yang bahagia, utuh dan mempunyai ketahanan yang tangguh. Dalam suasana Hari Raya Idulfitri, kegigihan yang berhasil, patut diacungi jempol dan menumbuhkan rasa syukur yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk mendapatkan cerita yang menarik, sebagai suguhan bacaan dalam suasana Hari Raya Idulfitri, sekaligus sebagai pengisi waktu berkumpul dengan keluarga, Yayasan Damandiri menugaskan Drs. Oos M. Anwas, M.Si., meninjau kegiatan masyarakat di pedesaan. Tinjauan dikhususkan pada keluarga yang memperoleh bantuan dari Yayasan Damandiri dari kabupaten Demak. Kabupaten ini dikenal dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Kabupaten ini juga memiliki tapak sejarah yang menarik, yaitu sebuah masjid peninggalan Sunan Kalijaga.
Masyarakat Demak mempunyai kesenian khas Rebana untuk vokal sholawatan Nabi, yang biasanya dimainkan dengan iringan Jipin atau gerakan untuk mengiringi musik bunyian rebana tersebut. Seni gerak Jipin biasanya dimainkan oleh 10 sampai 12 orang, bisa laki-laki atau perempuan. Seni Jipin awalnya disajikan pada acara sholawatan. Musik yang dimainkan mempunyai sejarah kemunculan pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, terutama dimainkan dalam peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW.
Karena perkembangan yang cukup menarik, kesenian ini digelar juga diluar acara Maulid Nabi, misalnya dalam acara hajatan sunatan dan pernikahan. Untuk melestarikan budaya seni yang unik itu, keahlian memainkan rebana diajarkan di sekolah-sekolah. Dalam masyarakat luas, Rebana dan Jipin dilombakan, baik pada tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, atau kabupaten.
Seperti diduga, di kampung Kauman, Demak, Rebana dan Jipin merupakan kesenian yang sering dilombakan antar warga. Hampir pada setiap hajatan, apalagi pada acara Maulid Nabi Muhamad SAW, Rebana dan Jipin selalu digelar. Kepada anak-anak di kampung itu sejak kecil sudah diajarkan bermain rebana, termasuk kepada Tini, atau lengkapnya Sumartini, yang lahir di kampung ini.
Sebagai calon guru, tidak saja di rumah, tetapi juga di sekolahnya, yaitu Sekolah Pendidikan Guru Agama, Tini mendalami kesenian ini. Sebagai calon guru Tini merasa dituntut untuk lebih paham akan seni tersebut. Latihan dan kemampuan bermain Rebana dan Jipin makin dikuasainya setelah ia berkenalan dengan seorang pemuda yang kemudian menjadi suaminya, Syahroni. Pasangan ini menjadi makin serasi karena Sumartini pandai bermain Rebana dan Jipin, sedangkan Syahroni mempunyai kemampuan membuat alat-alat rebana.
Syahroni, yang biasa dipanggil Roni, lahir di kampung Bedengan Demak. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi tentara. Ketika akan ujian di SMP ia mendaftar menjadi tentara, tetapi orang tuanya tidak mengijinkan. Sementara itu kampung Bedengan sudah dikenal sebagai penghasil Rebana. Tokoh ahli pembuat Rebana adalah bapaknya sendiri, H. Salwadi. Di Demak sudah lama Bapak Salwadi dikenal sebagai ahli membuat Rebana. Ketrampilan tersebut diturunkan kepada anak-anaknya, termasuk kepada pemuda Syahroni.
Sejak kecil anak-anaknya dilatih membuat rebana. Setelah H Salwadi meninggal dunia, usaha membuat Rebana dilanjutkan anak-anaknya. Namun tidak lama kemudian dua saudara Syahroni juga meninggal dunia. Bahkan kakaknya yang paling besar sempat menderita sakit untuk waktu lama, hingga 12 tahun. Akibatnya, uang simpanan keuntungan yang diperoleh dari membuat rebana habis untuk berobat. Sejak itu Syahroni bertekad meneruskan usaha membuat Rebana warisan orang tuanya. Namun ibunya melarang. Kematian ayah dan dua saudaranya dicurigai terkait dengan persaingan dalam bisnis produksi rebana yang cukup ketat diantara pembuat rebana lainnya.
Untung saja sejak masih bujangan Syahroni mempunyai usaha sampingan sebagai sopir honorer pada Kantor Departemen Agama di kota Demak. Ketika itu Tini sudah menjadi guru SD. Walaupun lulusan PGA, ia tidak menjadi guru agama tetapi menjadi guru kelas. Ia ditugaskan agak jauh dari kampungnya, di daerah Moro, sehingga mengharuskan mondok di daerah itu.
Setiap minggu ia pulang ke rumahnya di desa. Ketika pulang atau pergi selalu melewati kantor Depag tempat Syahroni bekerja. Rupanya Syahroni selalu memperhatikan Ibu guru yang sering lewat itu. Syahroni tahu betul kapan Ibu Guru lewat, sehingga setiap hari Sabtu sore atau Senin pagi ia nongkrong di depan kantor.
Suatu ketika Syahroni pura-pura membersihkan mobil di depan kantornya, padahal menunggu Ibu guru pujaannya lewat. Pada saat si jantung hati lewat, ia memberanikan diri menegur. Dari sinilah pertama kali mereka berdua menjalin cinta. Tini tidak munafik, menerima cinta Roni pemuda berbadan tegap tersebut. Sebaliknya Roni sangat tertarik karena selain cantik, Tini juga pintar memainkan rebana. Akhirnya mereka pacaran sekitar 6 bulan, dan kemudian menikah. Kesamaan hobby bermain rebana merupakan kenangan indah dan perekat yang membawa mereka ke jenjang perkawinan dan cinta yang langgeng sampai kini.
Setelah menikah mereka tinggal di rumah orang tua Tini. Kebetulan orang tua Tini memiliki dua rumah. Untuk penghematan, Tini pindah tempat mengajarnya ke sekolah yang lebih dekat kampung halamannya. Seperti guru lainnya, setiap hari Tini mengajar di sekolahnya. Oleh karena itu, meningkatnya kebutuhan hidup rumah tangga, harus diselesaikan oleh Syahroni dengan bekerja lebih keras dan kembali membuka usaha membuat rebana di Bedengan. Jika sedang ramai pesanan, Roni terpaksa memusatkan perhatian dan waktunya membuat rebana. Akhirnya Roni terpaksa keluar dari kantor Depag sebagai sopir dan lebih memilih sebagai sopir angkot yang bisa diatur diantara kegiatannya membuat rebana.
Namun persaingan usaha antara anggota keluarga begitu nampak dan cenderung kurang sehat. Apalagi setelah kedua kakak Syahroni meninggal dunia. Ibunya melarang Syahroni melanjutkan usaha pembuatan rebana. Roni diijinkan hanya jika tempat usahanya tidak di kampung Bedengan, semata-mata untuk menghindari persaingan dengan kerabat sendiri. Akhirnya Roni harus pindah tempat usaha di ke luar Bedengan, yang dirasakannya sebagai sesuatu yang berat, karena daerah Bedengan membawa nama besar ayah Syahroni yang sudah melekat sebagai ahli rebana. Jika harus pindah lokasi berarti dianggapnya sebagai mulai dari titik nol. Kenyataan ini menimbulkan perang batin tersendiri. Di sisi lain pekerjaan Roni sebagai sopir dianggap membosankan, karena sering berantem dengan pemilik mobil, karena soal setoran. Akhirnya mereka memutuskan membeli mobil untuk usaha sendiri. |
1 komentar:
as.kami mau menawarkan tam mika aluminium kalau mau di jual lagi di sini stoknya banyak gan
081252456363
085731711369
Posting Komentar